Batubara, Menggali Kubur Sendiri

Oleh: Khalisah Khalid

Demokratisasi yang Gagal?
Pada masa reformasi, demokratisasi ditandai dengan berbagai desakan agenda. Selain soal kebebasan pers, agenda reformasi lain yang digulirkan terkait dengan pengurusan wilayah adalah desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara otonom memiliki kewenangan mengurus wilayahnya sendiri melalui Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22/1999 dan direvisi dalam Undang-Undang No. 32/2004.
Euphoria demokrasi memang begitu dirasakan, khususnya bagi pemerintah daerah yang selama puluhan tahun berada dalam genggaman kekuasaan pemerintah pusat dan melahirkan kesenjangan social ekonomi yang tinggi, salah satunya dalam pengelolaan kekayaan alam yang dikelola dalam sebuah kebijakan yang sentralistik. Ini ditandai dengan begitu massifnya peraturan daerah dibuat oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk yang mengatur tentang keluarnya ijin eksploitasi sumber daya alam. Terlebih, tuntutan pemenuhan PAD menjadi stimulan bagi kepala daerah untuk berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya karena itulah sandaran utama dalam pembangunan ekonomi daerah.

Pasca itu, kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda dari harapan. Laju kerusakan lingkungan terus meningkat seiring dengan angka kemiskinan di berbagai daerah, khususnya di wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti Kalimantan Selatan. Desentralisasi banyak ditafsirkan sebagai bagi-bagi “kue”, sehingga kawasan terbagi habis untuk perijinan industry ekstraksif. Sementara lahan-lahan produktif semakin berkurang, akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari perijinan tersebut.

Banyak pihak yang menilai desentralisasi dinilai kebablasan, jika tidak mau dikatakan gagal dalam implementasinya, pun oleh gerakan social khususnya gerakan lingkungan sendiri. Buku ini paling tidak menyampaikan kritik terhadap desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, khususnya dalam pengurusan batubara di Kalimantan Selatan yang melahirkan berbagai dampak ekologi, ekonomi, social dan budaya. Meskipun sesungguhnya pada masa reformasi, gerakan lingkungan mendorong desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, yang bertujuan mendekatkan mekanisme akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupannya.
Pertanyaannya kritisnya kemudian adalah apakah desentralisasi khususnya dalam pengelolaan kekayaan alam menjadi sebuah pilihan pengurusan wilayah yang gagal?

Alir Energi Kapital
Setelah system ekonomi global mendominasi pembangunan ekonomi Indonesia melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat pada masa orde baru, yang melahirkan begitu banyak kebijakan yang eksploitatif. Kebijakan eksploitatif tersebut dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. I Tahun 1967, disanalah saluran penguasaan kekayaan alam Indonesia dimulai oleh kekuatan Trans National Corporation/Multi National Corporation, dan dilanjutkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007.

Sebagai sebuah tali temali alir capital ini, kita dapat menemukan bagaimana bentuk intervensi yang dilakukan oleh system kapitalisme dengan aktornya antara lain lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan Asian Development Bank dan negara-negara donor seperti USAID dan AUSAID.

Negara dan lembaga donor menilai bahwa selama ini pemerintah Indonesia gagal mengelola bantuan luar negeri mereka (baca; utang luar negeri), hal ini dikarenakan system pemerintahan yang sentralistik. Karena itu, mereka memandang perlu adanya penguatan terhadap pemerintah melalui program tata kelola pemerintahan yang baik yang dibungkus dalam kebijakan otonomi daerah. Dalam mendukung proses desentralisasi daerah di Indonesia, program-program USAID antara lain mendukung perbaikan jasa pelayanan lokal dan perencanaan budgeting pada sektor-sektor penanganan dan pengolahan sumber daya alam dan kesehatan.

Ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang memberikan bantuan luar negeri kepada negara-negara berkembang melalui program tata kelola pemerintah yang baik yang mensyaratkan administrasi negara harus disederhanakan dan diselenggarakan seefisien mungkin dan pemerintah pusat harus mendesentralisasikan sebagian besar fungsinya kepada pemerintah di bawahnya dan melayani publik pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat. Sebagai syarat, dalam prakteknya pemerintah negara tersebut mengatur ekonomi negaranya berdasarkan atas pasar yang bebas, kompetitif dan efisien.

Desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam yang memiliki tujuan mulia, dibajak dengan cara mengintervensi undang-undang otonomi daerah. Karenanya tidak mengherankan jika desentralisasi akhirnya harus dilengkapi dengan syarat-syarat yang diharuskan oleh aktor-aktor global tersebut antara lain pemerintah yang bersih dan keterwakilan masyarakat. Skema ini terlihat memiliki tujuan baik, namun dibalik itu syarat-syarat ini justru sebagai justifikasi dan membangun image yang baik untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Menyebarnya birokrasi sampai ditingkat daerah, justru lebih memudahkan investor melakukan “tawar menawar”. Padahal kita tahu, disisi yang lain desentralisasi yang didorong tidak disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kalaupun ada, peningkatan kapasitas pemerintah daerah ditujukan bagi kapasitas pelayanan yang mendukung investasi di masing-masing daerah seperti dalam hal perijinan industri.
Tujuannya bisa diduga, bagaimana desentralisasi ini didorong untuk membangun sebuah jalan penguasaan kekayaan alam untuk memenuhi konsumsi negara-negara industry atau mengamankan pasokan energy dan dalam jangka panjang melanggengkan dominasi mereka atas ekonomi politik dunia. Dimulai dengan menguasai kekuatan politik daerah melalui program-program pembuatan Peraturan Daerah sampai Peraturan Desa, dan kemudian menguasai kawasan yang memiliki kekayaan alam yang bisa dikeruk habis.

Sayangnya, desentralisasi yang diimplementasikan saat ini, sesungguhnya sedang mereduksi tujuan utama dari desentralisasi itu sendiri yakni mendekatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupannya. Karenanya menjadi sangat wajar, jika otonomi daerah dan pembangunan demokratisasi yang berjalan saat ini tidak berurusan dengan agenda keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas rakyat.
Kekuatan ekonomi kapitalisme akan selalu masuk dalam kekuatan politik yang sedang berkuasa, dan memanfaatkan ruang-ruang yang menguntungkan bagi pelanggengan kekuasan politik modal mereka, termasuk ruang desentralisasi dan kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan liberalisasi di sector energy yang juga disokong oleh aktor-aktor yang sama.

Potret Kalimantan Selatan
Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan dalam cerita pengerukan batubara, menggambarkan begitu sempurnanya system ekonomi kapitalisme masuk dalam ruang-ruang kebijakan di daerah melalui jalur otonomi daerah dengan tujuan penguasaan aliran energy yang menjadi kebutuhan konsumsi negara-negara industry.

Sekian puluh tahun lamanya kekayaan batubara dikelola oleh pemerintah pusat, desentralisasi seolah menjadi sebuah angin segar bagi pemerintah daerah. Aktor ekonomi politik dominan masuk, memanfaatkan moment tersebut. Ijin pertambangan yang semula dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui PKP2B yang diberikan kepada industry tambang batubara internasional skala besar, kini pemerintah daerah mengeluarkan kuasa pertambangan (KP) kepada industri-industri nasional dan local skala kecil, menengah dan besar.

Mekanisme perijinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dua-duanya sama menguntungkan bagi negara-negara industry maju, karena disanalah alir energy capital bergerak dengan adanya pasokan batubara yang masuk ke negara mereka. Batubara menjadi komoditas utama bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, dengan orientasi ekspor sudah dapat diprediksi sebagian besar batubara diperuntukan bagi kebutuhan ekspor, dibandingkan dengan kebutuhan domestik daerah. Ini dapat dilihat dari aliran energy dimana lebih dari 73 % produksi batubara di Kalsel dipasok untuk kebutuhan luar negeri, sisanya yaitu 27% hingga 29%, sementara hanya 1,69 persen digunakan untuk kebutuhan domestiknya.

Bab demi bab dalam buku ini mengantarkan kita untuk memahami bagaimana praktek-praktek alir energy kapitalisme ini dimulai, dikeruk dengan berbagai modus operandi maupun ijin dan mengabaikan keselamatan, produktifitas dan kesejahteraan dan mengabaikan jaminan keberlanjutan jasa layanan alam.

Dalam Bab III tentang kesejarahan penguasaan batubara di Kalimantan Selatan, sejak awal dari jaman kolonialisme Belanda hingga jaman reformasi, Kalimantan Selatan sudah dibidik untuk dikuasai kekayaan alamnya oleh kekuatan ekonomi global khususnya negara-negara industry. Aktor-aktornya masuk melalui elit yang sedang berkuasa secara politik, jalur primordial di masa kerajaan, sentralistik dimasa orde baru berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan kini mendompleng reformasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah dengan membangun persekutuan yang baik dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten untuk mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi tambang batubara dan konsesi ekstraktif lainnya di sector kehutanan dan perkebunan skala besar yang sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi.

Janji kesejahteraan digunakan oleh pemerintah daerah, seolah-olah pilihan terhadap industry batubara ini sebagai sebuah jalan bagi rakyat yang memiliki cadangan batubara ketiga di Indonesia setelah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan untuk mengatasi masalah ekonominya. Namun lagi-lagi, kondisi masyarakat tidak mengalami kenaikan yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup manusia di Kalimantan Selatan. Belum lagi kehancuran lingkungan yang semakin meningkat, dan hancurnya sumber-sumber produksi akibat konversi lahan-lahan produktif seperti pertanian yang berubah menjadi lubang batubara.

Kalimantan Selatan dengan pilihan industry ekstraktifnya hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang mengandalkan kekayaaan alam sebagai modal utama dalam pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pilihan ini bisa disadari atau tidak resikonya, mengingat daya rusak industry batubara tidak kecil sebagaimana yang dijelaskan pada buku ini dalam bab V, VI dan VII. Angka kerusakan lingkungan hidup beriringan naik dengan angka kemiskinan di Kalimantan Selatan. Sehingga menjadi tidak ada urusan antara harga batubara dunia yang membuat Pemerintah Daerah tergiur menjual habis pasokan batubaranya ke luar negeri, dengan indeks human development dan angka pengangguran di bumi Antasari ini.

Tidak cukup sampai disitu, dampak lain dari industry pertambangan batubara ini melahirkan krisis lain yakni hancurnya tatanan sosial masyarakat. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap pembukaan industry ekstraktif, akan selalu dibarengi dengan masuknya “pasar” yang melahirkan perubahan pola konsumsi pada masyarakat, yang seringkali menempatkan masyarakat pada sebuah pilihan yang mendukung industry yang dalam waktu cepat bisa memenuhi pola konsumsinya. Inilah salah satu realitas social masyarakat ditengah gempuran investasi, masyarakat akan meresponnya diluar dari yang sering dibayangkan oleh aktifis atau pelaku gerakan lingkungan.

Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, dan Kalimantan Selatan khususnya yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air bersih dan energi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Cerita yang sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia yang sedang berlomba-lomba keruk habis kekayaan alam, dengan praktek-praktek dan aktor-aktor yang sama. Terlebih saat ini, Pilkada menjadi moment yang menguntungkan bagi investor untuk membangun kekuatan politik daerah melalui calon-calon pemimpin daerah dengan membiayai ongkos politik mereka, tidak dengan gratisan tentu saja karena konsesi politik siap menunggu dengan ijin-ijin industry yang semakin menguntungkan mereka. Bisa jadi, pemerintah daerah juga mereplikasi pemerintah pusat sebelumnya, bahwa resiko-resiko tersebut akan digeser kepada masyarakat dengan lagi-lagi menggunakan jargon yang sama yakni berkorban atas nama pembangunan.

Jared Diamond dalam teori collapse-nya mengatakan runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan oleh kondisi geografik alaminya saja. Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya. Tampaknya pemimpin entitas manusia di Kalimantan Selatan memilih jalan menuju collapse dengan membiarkan bencana terjadi dengan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun.

Pada bab penutup, buku ini juga memberikan tawaran berupa resolusi-resolusi yang ditujukan kepada banyak pihak. Mestinya, resolusi yang didorong mampu melampaui dari daya rusak tambang batubara itu sendiri, salah satunya dengan tidak terkungkung pada hal-hal teknis administrative atau mengikuti alur skema-skema yang dibangun oleh system ekonomi kapitalisme itu sendiri. Yang pasti, tantangan dan tugas dari gerakan social menjadi lebih berat. Untuk mengembalikan lagi semangat utama desentralisasi pengelolaan kekayaan alam, dimana dengan desentralisasi dapat menjamin akses dan kontrol rakyat dapat terpenuhi.

Baca selengkapnya...

Agenda Politik Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Disusun oleh:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

DRAFT (11 JUNI 1998)


1. Pendahuluan

WALHI memandang bahwa reformasi harus dilakukan dalam sebuah makna yang
benar, bukan reformasi tambal sulam maupun reformasi yang hanya mengganti
'sekrup-sekrup' kapal tua yang sama. Dengan demikian kita tidak perlu
membatasi gagasan-gagasan dan hendaknya kita mampu membebaskan
pikiran-pikiran kita dalam perubahan yang berkembang, untuk menyiapkan
tatanan Indonesia baru yang lebih baik.

Semangat militansi mahasiswa juga harus menjiwai cara pandang kita untuk
melakuan perubahan-perubahan mendasar, karena dengan semangat militan
tersebutlah sebenarnya bangsa ini dan kita hari ini duduk di sini berbicara
tentang sebuah kata: reformasi.

Agenda reformasi WALHI di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
hidup bersifat sangat makro, dengan pertimbangan bahwa: (1) agenda-agenda
reformasi yang lebih bersifat mikro dapat dilakukan pada saat pemerintahan
baru yang memperoleh legitimasi politik rakyat dan dunia internasional
telah terbentuk. Dengan demikian, hal yang paling penting dan mendesak yang
segera harus dilakukan adalah pengambilan keputusan-keputusan politik yang
menjadi frame-work reformasi secara keseluruhan; (2) usulan reformasi yang
lebih mikro telah sejak lama disuarakan kalangan ornop dan bukanlah
merupakan hal baru sama sekali, yang tersedia dalam sekian banyak pilihan
dan langkah-langkah, termasuk usulan-usulan konkrit yang dapat segera
diterapkan.


2. Agenda Reformasi

Dengan dasar pikiran bahwa persoalan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
adalah persoalan politik, maka WALHI memandang reformasi politik merupakan
dasar reformasi dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Reformasi politik dalam scope makro tersebut paling tidak harus
mencakup mengenai kebijakan (policy) dan kelembagaan. Reformasi pada kedua
hal tersebut menjadi prasyarat utama untuk mencapai pengelolaan sumberdaya
alam yang adil dan lestari.

2.1. Reformasi kebijakan

Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dipraktekkan oleh
pemerintah orde baru rezim Suharto telah kehilangan argumen, keabsahan dan
legitimasi moral untuk tetap dipertahankan karena terbukti menyebabkan
kerusakan sumberdaya alam yang masif, tidak berkelanjutan dan hanya
menyebabkan kemiskinan dan secara tidak adil hanya menguntungkan segelintir
orang yang dekat dengan elit kekuasaan.

Dengan alasan tersebut, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada
masa-masa mendatang haruslah memuat lima prasyarat penting, sebagai
berikut: (1) desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan sumberdaya alam
antara pemerintah pusat dan daerah; (2) pengawasan rakyat yang lebih kuat
untuk mendorong transparansi proses pengambilan keputusan; (3) pengelolaan
utuh-menyeluruh yang menghilangkan pendekatan sektoral dalam pengelolaan
sumberdaya alam. (4) keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi
sumbedaya alam dan lingkungan; dan (5) keadilan bagi rakyat dalam akses dan
pemanfaatan sumberdaya alam.

2.2. Reformasi Kelembagaan

Konsekuensi politis dari hal tersebut di atas, maka akan terjadi perubahan
radikal dalam struktur kelembagan yang diserahi wewenang dalam mengelola
sumberdaya alam dan lingkungan. Semangat otonomi harus mendasari perombakan
kelembagaan ini, dimana pembagian tugas dan tanggung-jawab antara
pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih jelas dan berimbang. Pembagian
tugas ini juga berarti akan mengurangi peran pemerintah pusat dan
menyerahkan sebagian mandat tersebut kepada pemerintah daerah tingkat
propinsi dan kabupaten

Pemerintah pusat seyogyanya hanya bertanggung-jawab untuk mengeluarkan
standar-standar pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada skala
nasional, dan pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan lokal untuk
masing-masing daerah. Standar nasional ini dapat dijadikan sebagai rujukan
dan 'batas minimum' sebuah policy yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Namun demikian, pemerintah pusat harus dapat mengakomodir dan melindungi
kepentingan-kepentingan minoritas di seluruh daerah.

Dengan demikian lembaga pemerintahan atau departemen di tingkat nasional
(pusat) untuk sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hanya akan terdiri dari
dua bagian (departemen) besar: yaitu departemen sumberdaya alam dan
departemen pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
.
2.2.1. Departemen Sumberdaya Alam

Departemen ini diserahi wewenang dan tanggung-jawab pada hal-hal yang
menyangkut pemanfaatan (eksploitasi atau harvesting) sumberdaya alam,
dengan lingkup kerja: inventarisasi atau stocking sumberdaya alam,
pengawasan dan monitoring, serta perijinan. Depertemen ini akan menyatukan
semua pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dikelola secara sektoral
seperti pertambangan, kehutanan dan perikanan. Departemen Sumberdaya alam
ini masih dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sifat dan jenis
sumberdaya alam yang dikelola, yaitu: sumberdaya alam dan sumberdaya
budidaya. Kedua bidang ini secara struktur dapat dibagi berupa
sub-departemen atau direktorat jendral.

§ Sub-departemen sumberdaya budidaya yang mencakup budidaya kehutanan
(hutan tanaman dan perkebunan), pertanian dan hortikultura, serta perikanan
(darat dan laut).

§ Sub-departemen sumberdaya alam yang meliputi hutan produksi alam,
pertambangan, penangkapan ikan (laut dan tawar), pemanfaatan air (tanah dan
permukaan), serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

2.2.2. Departemen Pengendalian Dampak dan Perlindungan Lingkungan

Departemen ini akan mengurus masalah pelestarian dan perlindungan
sumberdaya alam dan buatan serta mengeluarkan kebijakan pemanfaatan
sumberdaya alam termasuk penataan-ruang. Lingkup kerja departemen ini
antara lain adalah inventarisasi, penetapan kuota, pengawasan,
rehabilitasi, pembuatan amdal dan lain-lain yang termasuk dalam perencanaan
pengendalian dan perlindungan. Dengan demikian maka departemen ini juga
seyogyanya memiliki wewenang sebagai penyidik sipil dalam kasus atau
perkara lingkungan hidup.

Seperti juga departemen sumberdaya alam, maka departemen ini juga akan
dibagi dua dalam sub-departemen sumberdaya buatan dan sumberdaya alam.

§ Sub-departemen sumberdaya buatan, yang melingkupi pengendalian dampak dan
perlindungan lingkungan sektor industri, perairan buatan (bendungan), dan
pertanian.

§ Sub-departemen sumberdaya alam yang melingkupi pengendalian dampak dan
perlindungan lingkungan pada sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan,
kelautan dan perairan.


3. Penutup
Konsekuensi dari perubahan tersebut, maka Departemen Kehutanan dan
Perkebunan (Dephutbun), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Deptrans &PPH), Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Departemen Perindustrian (Deperind), Kantor Negara
Lingungan Hidup dan Bapedal direkomendasikan untuk dihapuskan, karena
lingkup tugasnya telah terinternalisasi dalam kedua lembaga tersebut di
atas. Namun demikian juga akan terdapat penambahan tugas dan wewenang pada
departemen lain, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang akan
mengurus masalah-masalah land-management, pengembangan regional dan tata
ruang.

Keberanian untuk melebur beberapa departemen juga berarti kita melakukan
langkah besar untuk efisiensi dan peningkatan profesionalisasi. Deptrans &
PPH misalnya, merupakan contoh sebuah departemen yang sangat boros dan
kenyataannya tidak pernah menyelesaikan permasalahan kependudukan. Dengan
merubah strategi pembangunan menjadi lebih otonom (tidak sentralistik)
melalui pengembangan regional, dengan sendirinya akan mengatasi
masalah-masalah kependudukan. Masalah-masalah yang tersisa dari program
ini dapat diserahkan kepada Depdagri, juga termasuk masalah-masalah
pertanahan.

Dengan leburnya departemen pertambangan, maka masalah-masalah energi akan
diurus dalam departemen sendiri, yaitu Departemen Energi yang memiliki
lingkup kerja pada pengelolaan sumberdaya buatan untuk penyediaan energi
seperti PLTU, PLTA dan lain-lain. Departemen Pertanian masih dapat
dipertahankan sebagai departemen tersendiri tergantung pada beban dan
volume pekerjaan pada bidang budidaya sumberdaya alam seperti perkebunan,
pertambakan, hortikultura dan tanaman keras.

Agenda reformasi ini tentu saja akan memakan waktu panjang dan rumit.
Langkah ini dapat dimulai melalui sebuah mekanisme terbuka dan demokratis
dengan masukan dari semua unsur dan kekuatan sosial masyarakat. Beberapa
inisiatip awal juga dapat dirumuskan melalui dialog dan konsultasi terbuka
diantara komponen-komponen bangsa untuk mencapi sebuah konsensus.
Reformasi total hanya dapat tercapai bila semua pihak terbuka dan positip
demi sebuah cita-cita bersama yaitu tatanan masyarakat Indonesia Baru

Jakarta, Kamis, 11 Juni 1998


Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Mampang Prapatan IV,
Jl. K. No. 37 - Jakarta 12790
Telp.: 021-7941672
Fax: 021-7941673
e-mail:

Baca selengkapnya...

Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45

Oleh : Arimbi HP dan Emmy Hafild

Diterbitkan oleh :
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Fiends of the Earth (FoE) Indonesia
1999

*Pendahuluan*

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".
Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".

Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan
orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek
kartel dalam bidang pengelolaan sumber dayya alam adalah bertentangan
dengan prinsip pasal 33.
Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh
-setidaknya-- dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus
yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya
alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam :
1. UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;
2. UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967;
3. UU Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967;
4. UU Landasan kontinen No. 1 tahun 1973;
5. UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan;
6. Uu 13 tahun 1980 tentang Jalan;
7. UU No. 20 tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan;
8. UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
9. UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
10. UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; dan
11. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat
disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan
hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian
indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D
(Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan
demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi
pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan
(Indrawati,1995). Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam
ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya
dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta
memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas
kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Indrawati, ibid).
Jiwa pasal 33 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan
barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara.
Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang
mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu,
pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang
mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang
jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan tranparan (good
governance).

*Permasalahan dan Tantangan Global Pengelolaan Sumberdaya Alam *

Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap
mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat
didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara
buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan
rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi
demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada
perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam
ini.
Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi
sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh
pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti
ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan
rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan
tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi
prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya
dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang
seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam
pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579
konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha
kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada
sumberdaya hutan dan ari generasi ke generasi telah berdagang kayu,
harus diputuskan dari ekonomi kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan
hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak
Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah
disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan
No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak
rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan
Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri
Dalam Negeri kepada Gubernur (Lihat teleks N0. 522.12/81/sj.). Begitu
pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan
Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan
Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal
kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi
sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan
dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah
dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai
PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan
tempat bagi penambang besar. Dengan logika yang sama seperti di sektor
kehutanan, penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan
manajemen yang baik, sehingga 'layak' digusur hanya dengan dalih tidak
mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan
manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat
pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan
pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.

Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah kesektor
pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi
menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata
baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini
tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya
alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down
effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke
pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan,
kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya
untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor
pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa
sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan
melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan
keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem
ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke
swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan
dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta
mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan
keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan
apapun kepada rakyat kecil.

Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat global
bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and
tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free
Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era
perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur
kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana
perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan
perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus
mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era
perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara
mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi
sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan
internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung
dalam konstitusinya.

*Penerapan Pasal 33 saat ini : Pengusaha Untung, Rakyat Buntung*

Dalam perjalanan waktu, penerapan pasal ini dilapangan menimbulkan
polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Apalagi jargon'demi
kepentingan umum' dan atau 'demi pembangunan' seolah-olah menjadi cara
sah untuk menggusur rakyat dari sumberdaya alamnya. Rakyatlah yang
menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam
diatas, tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Seperti kasus PT. IIU,
rakyat tidak dapat lagi menikmati air bersih sumber penghidupan mereka,
ladang penggembalaan mereka menghilang, terkena longsor dan banjir.
Pemberian HPH seolah-olah anugrah bagi pengusaha untuk memiliki kawasan
HPH secara mutlak akan melarang masyarakat lokal untuk turut menikmati
hutan tersebut, seperti mengambil damar, gaharu, menggembalakan ternak
atau berburu. Lagipula, masuknya masyarakat lokal kedalam kawasan HPH
dianggap sebagai perambahan dan mengganggu keamanan kawasan tersebut.
Ini menunjukkan hutan produksi indonesia hanya dikuasai sekelompok orang
dengan menegasikan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh, hasil
penelitian WALHI tentang rente ekonomi penguasaan hutan di Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil eksploitasi hutan sebesar US$
2,5 miliar pertahunnya, hanya 17 % yang masuk kekas negara, selebihnya
masuk kekantung pengusaha. Bank Dunia (World Bank, 1993) malah
menghitung hanya 12 % yang masuk kekas negara.

Sistem Konsesi Kepemilikan kehutanan jelas telah mencabut masyarakat
lokal dari sumberdaya kehutanan yang dahulunya pernah mereka nikmati.
Sebelum sistem konsesi pada tahun 1970-an, masyarakat lokal Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi telah melakukan perdagangan kayu skala kecil
selama ratusan tahun. Masyarakat Dayak di Kalimantan misalnya telah
berdagang kayu dan produk hutan laninnya dengan Cina dan Arab.

Sedang disektor pertambangan, rakyat Amungme dan Komoro di bumi Irian
kehilangan lahannya karena tergusur aktivitas pertambangan tembaga PT.
Freeport. DiAceh Utara 82 Desa yang berada disekitar kegiatan
pertambangan Minyak dan Gas Bumi PT. Mobil oil dan PT. Arun NGL,
seringkali menerima 'getah' dari aktivitas kedua perusahaan itu. Terjadi
semburan api tak terkendali (blow out) dan pecahnya pipa transmisi gas
telah mencemarkan sungai dan perkebunan mereka. WALHI mencatat kejadian
diatas terjadi berturut-turut pada tahun 1983/1984. Bahkan pada tahun
1992 rakyat di Desa Puuk telah menggugat Mobil Oil dan Pertama karena
gagalnya panen udang/ikan akibat tercemar limbah minyak. Dikecamatan
puruk Cahu, Kalimantan Tengah pendulang emas tradisional harus tergusur
karena lahan tambangnya diberikan kepada perusahaan emas besar dari
Australia, PT. Indo Muro Kencana. Sementara sekarang rakyat disekitarnya
tidak dapat memakai air sungai karena tercemar limbah pertambangan. Dan
banyak lagi kasus serupa yang semakin hari semakin meningkat ke
permukaan, tanpa adanya sambutan penyelesaian yang berarti.

Sistem ekonomi rakyat lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang
telah dihancurkan adalah rotan. Masyarakat lokal di Kalimantan dan
sumatera telah berdagang rotan sejak lama. Tetapi sejak tahun 1989
-berdasarkan keuntungan dari perdagangan valuta asing yang didapat dari
larangan ekspor log- aturan larangan ekspor rotan mentah diterapkan.
Konon katanya untuk tujuan meningkatkan nilai (value added) dari
pemrosesan rotan. Sayangnya peraturan ini memberikan monopoli
pengusahaan rotan ke ASMINDO (Asosiasi Meubel Indonesia). Peraturan ini
tidak lagi mengakui bahwa masyarakat di Kalimantan dan sumatera telah
sejak lama melakukan ekspor rotan ke Jepang, Philipina, taiwan dan
negara-negara lainnya. Dengan memaksa rotan harus diproses terlebih
dahulu, lampit (sejenis karet terbuat dari rotan) yang dahulunya
merupakan sumber uang cash bagi masyarakat adat di Kalimantan telah pula
terkena larangan untuk diekspor. Hasilnya adalah bencana bagi banyak
perekonomian rakyat didaerah itu.
Sekarang, perusahaan perabotan yang akan dikembangkan sebagian besar
malah kolaps dan terkena kredit macet. Ekspor rotan hasil pemrosesan
telah menurun tajam, sementara ekspor rotan mentah malah dimonopoli
ASMINDO dibawah ekspor kemanusiaan (semisal ekspor rotan ke Jerman untuk
pusat pelatihan cacat fisik). Sedangkan perekonomian rakyat di
Kalimantan tidak pernah bangkit lagi.
Mirip dengan tragedi rotan adalah perekonomian jeruk dan cengkeh setelah
adanya aturan tata niaga. Sampai lima tahun lalu, petani cengkeh dan
jeruk adalah kelompok petani yang kaya di Indonesia. Mereka menikmati
harga yang pantas karena tingginya permintaan domestik. Keadaan diatas
telah berubah sejak BPPC (Badab Penyangga dan Pengawasan Cengkeh)
terlibat dalam monopoli perdagangan cengkeh, dan BIMANTARA memonopoli
perdagangan jeruk. Atas nama "membantu" para petani untuk menjaga harga,
mereka memonopoli distribusi cengkeh dan jeruk. Para petani tidak
diijinkan lagi untuk menjual langsung produknya, kecuali kepada para
distributor yang ditunjuk oleh BPPC dan BIMANTARA.

Sejak itu harga cengkeh jatuh dari antara Rp. 6.000 - 12.000 menjadi
hanya Rp. 1.500, bahkan seringkali di bawah harga RP. 1.500. Disamping
itu, distributor yang ditunjuk, taitu Koperasi Unit Desa (KUD), tidaklah
mempunyai kapasitas untuk membeli produk dalam jumlah besar dan
menyimpannya. Sementara distributor independen akan terkena sanksi jika
mereka melakukan aktivitasnya. Akibatnya para petani menjadi kelebihan
cengkeh, tidak ada yang bisa membeli. Cengkeh banyak dibiarkan busuk
dipohonnya. Banyak pula cengkehnya, karena biaya merawatnya jauh lebih
tinggi dari harga jualnya. Kondisi petani jeruk tidaklah berbeda jauh
dengan petani cengkeh. Begitu tata niaga kedua jenis ini tidak lagi
menguntungkan, kedua perusahaan pemegang monopoli itu meninggalkan
aktivitanya dan membiarkan perekonomian cengkeh dan jeruk dalam kondisi
yang parah.

Sementara Bank Dunia menunjukkan walaupun Indonesia sudah melakukan
pembangunan yang gencar dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun
selama 25 tahun, dan menguras sumberdaya minyak dan hutan, Indonesia
masih termasuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah
(World Bank,1995). Dimana jumlah rakyat yang tergolong miskin hanya
tinggal 27 juta saja pada tahun1994, yaitu sekitar 15% saja dari
populasi total.

Data Bank Dunia, diatas mesti dilihat dengan cara pandang yang kritis.
Tingkat kemiskinan ditentukan oleh bagaimana definisi miskin itu
ditentukan. Bagi Indonesia, garis kemiskinan ditentukan oleh pendapatan
sejumlah Rp.18.250 per bulan untuk daerah pedesaan dan Rp.28.000 untuk
daerah perkotaan. Artinya orang dengan pendapatan tersebut diatas tidak
lagi disebut miskin. Padahal, sangat dipahami pendapatan sebesar itu
tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan sandang,
pangan, papan apalagi rekreasi. Jika garis kemiskinan ini ditingkatkan
menjadi dua kalinya saja, misalnya Rp. 56.000 untuk perkotaan, seluruh
kebutuhan tersebut masih belum dapat dipenuhi. Dan jumlah penduduk yang
masuk dalam kategori berpenghasilan dibawah Rp. 56.000 ini sejumlah 75
juta jiwa.
Kecendrungan yang berkembang dalam pereduksian makna pasal 33 UUD 1945
malah semakin buruk, perubahan peruntukan lahan -tanpa mengindahkan
penataan ruang- seperti yang terjadi dalam proyek perumahan dan bisnis
Pantai Indah Kapuk di Jakarta, ternyata 'melegitimasi' Penguasaan Pantai
pada satu kelompok saja, demikian pula kontroversi rencana pembangunan
Pantai Utara Jakarta dan Teluk Naga, Jawa Barat. Dikawasan SIJORI
(Singapura-Johor-Riau), sekelompok pengusaha telah menjual tanah dan
pulau-pulau di propinsi Riau Kepulauan kepada Singapura, untuk
kepentingan reklamasi pantai disingapura. Demikian pula berita, bahwa
seorang pengusaha besar Indonesia telah menawarkan akan menyuplai air
bersih kepada singapura, yang diambil dari air tanah dalam kawasan
konsesi seluas 500.000 hektar di Propinsi Riau.

*Kehadiran GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan Mekanisme
Pasar Bebas*

Pasar bebas adalah suatu keadaan dimana dua pihak melakukan transaksi
dagang secara sukarela, dimana pihak penjual menyatakan kerelaannyauntuk
menjual dan pihak pembeli kerelaannya untuk membeli dengan harga yang
disepakati bersama. Mekanisme pasar dalam penentuan harga ditentukan
oleh penawaran dan permintaan. Jika permintaan meningkat, maka harga
akan naik, permintaan turun maka harga akan turun. Sebaliknya jika
penawaran tinggi, maka harga turun. Penawaran rendah, maka harga akan
naik. Ekonomi didalam pasar bebas diatur oleh para pelaku, sedangkan
intervensi pemerintah sangatlah minimal.

Pasar bebas juga mengasumsikan bahwa setiap prodeusen berada dalam
situasi persaingan sempurna. Artinya tidak ada subsidi atau monopoli
alam pasar. Harga sudah merupakan sesuatu yang mutlak ditentukan oleh
pasar, sehingga produsen tidak bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya
dengan menentukan harga yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan akan
menawarkan harga yang serendah-rendahnya agar dapat bersaing dipasar.
Keuntungan perusahaan biasanya sangat sedikit, dan akumulasi kekayaan
bukan dari margin keuntungan yang tinggi, tetapi dari omzet penjualan
yang tinggi.
Konsep pasar bebas sebenarnya konsep yang ideal dan egalitarian.
Perdagangan dilakukan secara sukarela, dan karena persaingan sempurna,
maka konsumen akan mendapatkan harga yang semurah-murahnya, dan produsen
mendapatkan keuntungan yang setimpal. Keuntungan produsen biasanya
ditentukan dengan penekanan harga yang serendah-rendahnya. Dalam prinsip
ini, suatu ekonomi dikatakan efisien, jika tidak ada yang dirugikan
dalam kegiatan yang membuat orang lain menjadi lebih baik (no one worse
off to make some one better off).
Kelemahan pasar bebas adalah bahwa karena persaingan sempurna, maka yang
kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Seseorang dengan modal dasar
yang besar (kaya) akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang,
dan mempunyai pilihan-pilihan lebih banyak. Akses kepada kapital,
informasi, pendidikan dan hubungan relasinya pasti lebih baik dari
seseorang dengan modal kecil(miskin). Keuntungan yang diraihnya akan
jauh lebih besar daripada seseorang dengan modal lebih kecil.

*Structural Adjustment Programs (SAPs)*

Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah program untuk menyesuaikan
perekonomian suatu negara (biasanya yang berhutang berat) kedalam sistem
ekonomi pasar bebas. Ada tiga hal yang dilakukan dalam SAPs ini, yaitu :
1. mengurangi defisit anggaran pemerintah
2. mengurangi defisit
3. membiarkan harga ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar bebas
Hal-hal yang menyebabkan distorsi pasar seperti monopoli, subsidi harga
atau penetapan harga dasar harus dihapuskan. Untuk menyeimbangkan
anggaran belanja negara tersebut, maka anggaran-anggaran yang tidak
perlu harus dihapuskan.
Sayangnya, pengurangan biaya pengeluaran negara biasanya sangat
dipengaruhi politik negara tersebut. Misalnya, negara tidak akan mau
mengurangi anggaran pertahanannya begitu saja, walaupun anggaran itu
cukup besar. Biasanya, yang akan mendapat pemotongan adalah pelayanan
kesehatan gratis dll. DiKenya misalnya, pelayanan kesehatan dan
pendidikan harus dikurangi, sehingga rumah-rumah sakit pemerintah
kekurangan obat dan peralatan karena harus melaksanakan SAPs. Karena
subsidi harga harus dihentikan, harga bahan makanan pokok menjulang
tinggi, sehingga banyak rakyat yang menjadi bertambah miskin. SAPs
menyebabkan yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin.

*SAPs, GATT dan Indonesia*

Bagi Indonesia, dimana perekonomiannya bukanlah perekonomian pasar
bebas, dan bukan pula perekonomian sosialis, melainkan monopoli karena
relasi politik, proteksi dagang lebih diberikan kepada pengusaha besar
dan bukan pengusaha kecil. Perdagangan bebas akan mempunyai dampak
positif. Contoh dampak positif misalnya seperti harga mobil, kertas, dan
semen akan turun. Konsumen akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih
banyak dengan harga yang hampir sama dengan negara lain.
Indonesia tidak berada dibawah SAPs Dana Moneter Dunia. Karena SAPs yang
berada dibawah Dana Moneter Dunia ini biasanya sangat kejam kepada
rakyat kecil. Sampai saat ini, karena Indonesia belum mencapai kondisi
krisis hutang (walaupun nyaris sedikit lagi) Indonesia masih berada
dibawah SAPs Bank Dunia. Dlam SAPs Bank Dunia ini antara lain harus
dilakukan beberapa perubahan seperti pengurangan peran negara dalam
pengaturan kegiatan ekonomi, termasuk peran BUMN, penghapusan monopoli,
menghilangkan subsidi BBM, listrik, dan terigu, serta pengetatan
anggaran belanja negara.
Segi positif SAPs di Indonesia misalnya bahwa dana yang digunakan untuk
membeli terigu dari Bogasari yang lebih mahal dari harga pasar dunia
dapat dimamfaatkan untuk pelayanan kesehatan rakyat miskin. Monopoli
BPPC terhadap cengkeh harus dihapuskan, demikian pula monopoli
perdagangan jeruk oleh BIMANTARA, dan monopoli perdagangan rotan dan
kayu oleh ASMINDO dan APKINDO. Sehingga rakyat dapat mengelola cengkeh,
jeruk dan langsung dapat mengekspor kayu dan rotan.
Tetapi dampak positif ini tidak akan terasa kepada rakyat kecil jika
pemerintah tidak dengan sungguh-sungguh melaksanakan kebijakan ekonomi
yang memberdayakan rakyat kecil. Walaupun dalam sistem ekonomi pasar
bebas peran negara dalam kehidupan ekonomi diminimalkan, intervensi
pemerintah dalam batas-batas tertentu masih dapat dilakukan. Hanya dalam
bentuk apa intervensi ini akan dilaksanakan, tergantung kepada komitmen
politik pemerintah suatu negara. Intervensi pemerintah dalam sistem
pasar bebas biasanya adalah dalam pendistribusian kekayaan dari si kaya
kepada si miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas.
Distribusi kekayaan dimana uang pajak ini lalu digunakan untuk
program-program mengentaskan kemiskinan, bantuan kredit dengan bunga
dibawah harga pasar, jasa informasi pasar, pelayanan kesehatan gratis,
pemberian kupon makanan bagi rakyat yang berada dibawah garis
kemiskinan, pemberian bea siswa bagi anak-anak tidak mampu, ataupun
penetapan dasar suatu harga barang tertentu.

Misalnya subsidi harga BBM di Indonesia. Biaya produksi BBm sebenarnya
jauh lebih tinggi, sehingga kalau dibiarkan produsen menentukan sendiri
harga BBM, sehingga akan mahal dan tidak terjangkau rakyat banyak.
Karena itu, maka pemerintah mensubsidi harga BBM, dengan membeli harga
BBM dari produsen lebih tinggi dari harga dasar jual yang kemudian
ditetapkan oleh pemerintah.
Sebaliknya, untuk mengontrol agar harga beras tidak terlalu mahal,
sehingga dapat dijangkau oleh banyak pihak dan agar tidak terjadi
pergolakan politik, maka pemerintah Indonesia dan banyak pemerintah
negara lain mengkontrol kenaikan harga beras dan delapan bahan makanan
pokok. Disini pemerintah tidak mensubsidi petani, tetapi petani
mensubsidi banyak orang dengan menjual dibawah harga pasar. Kebijakan
seperti ini disebut dengan cheap food policy.

*Dampak GATT dan SAPs pada Rakyat Kecil*

Secara selintas, permasalahan ekonomi rakyat akibat adanya monopoli
sumber-sumber daya mereka, tampaknya akan tertolong dengan adanya GATT.
Karena GATT akan melarang adanya bentuk-bentuk monopoli itu. Tapi pada
saat yang sama GATT juga akan membawa bahaya bagi petani di Indonesia.
Segi negatifnya, misalnya harga BBM akan naik yang akan mengakibatkan
harga transportasi akan naik. Melihat tingkah laku inflasi di Indonesia,
dimana setiap kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga-harga
barang konsumsi, maka harga-harga barang konsumsipun akan naik. Kenaikan
harga akan menimpa rakyat kecil jauh lebih berat daripada mereka dengan
kondisi ekonomi lebih baik. Kemungkinan yang lain adalah kenaikan harga
beras. Kenaikan harga beras akan menolong petani tetapi akan
menyengsarakan rakyat miskin diperkotaan. Selain itu ada juga
kemungkinan bahwa biaya pendidikan di sekolah negeri akan meningkat,
demikian pula dengan biaya dan harga obat di Pusat-pusat Kesehatan
Masyarakat (PUSKESMAS).

Namun bagi rakyat miskin di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 75 juta
jiwa tersebut, GATT mempunyai dampak negatif. Seperti yang telah
disebutkan dimuka, kelemahan utama sistem pasar bebas adalah bahwa yang
kaya akan makin kaya, yang kuat akan makin kuat, yang miskin akan kalah
bersaing dengan yang kaya. Dalam konteks global, negara miskin dan
berkembang akan kalah bersaing dengan negara industri kaya. Negara
industri menguasai teknologi dan informasi serta modal yang sangat
diperlukan didalam suatu sistem persaingan sempurna.
Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian kita semua, terutama
pemerintah adalah petani dan pengrajin serta pengusaha kecil. Didalam
negeri, kelompok ini tertekan karena digilas oleh pengusaha besar tanpa
ada usaha perlindungan dari pemerintah. Apabila GATT benar-benar
diterapkan maka penggilasan itu akan menjadi ganda, tidak hanya dari
pengusaha domestik, tetapi juga dari petani dan pengusaha negara
industri kaya. Petani buah-buahan, petani produksi buah, pengusaha
garmen kecil-kecilan, dsb akan kalah besaing dengan buah-buahan impor
dan produksi pakaian impor. Demikian juga dengan peternaka ayam dan
sapi. Peternak ayam kecil akan kalah bersaing dengan peternak ayam
besar, karena peternak ayam besar akan lebih efektif (cost effective).
Daging impor dari Australia dan Selandia Baru saat ini harganya sudah
sama dengan daging lokal, bahkan ada yang lebih murah.
Dampak negatif dari perdagangan bebas dan SAPs yang langsung mengena
rakyat miskin antara lain :
1. Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan
biaya, buruh akan semakin diperas.
2. Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk
pertanian internasional.
3. Meningkatnya urbanisasi kekota.
4. Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh Undang-undang
dan peraturan perburuhan.
5. Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan
permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam.

*Posisi dan Usulan WALHI*
Perdagangan bebas kelihatannya tidak akan terelakkan, jika kita tidak
siap maka perdagangan bebas bak "air bah" yang akan melanda negeri kita,
dan hanya mereka yang kuat dan mempunyai informasi yang cukuplah yang
sanggup bertahan. Dalam kondisi menuju perdagangan bebas diperlukan
intervensi pemerintah untuk pendistribusian kekayaan dari si Kaya kepada
si Miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas. Dalam konteks
ini, seharusnya fungsi menguasai negara untuk kemakmuran rakyat
diterapkan, dengan lebih menekankan fungsi pelayanannya (service),
perlindungan serta pemberdayaan rakyat berekonomi kecil serta
sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bentuk pernyataan-pernyataan kosong.
Walaupun dalam era perdagangan dan pasar bebas, prinsip pasal 33 masih
sangat relevan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Peran negara
dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan pasar bebas seharusnya
difokuskan kepada pengaturan agar sumberdaya alam Indonesia tidak
dimonopoli oleh sekelompok swasta atas nama negara dan agar dikelola
secara berkesinambungan baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Peran
negara dalam "kepemilikan" yang dalam hal ini "monopoli kepemilikan"
atas sumberdaya alam Indonesia sebaiknya dialihkan kepada peran
"pengaturan" yaitu intervensi agar pengumpulan kekayaan dan modal dari
hasil pengelolaan sumberdaya alam kita tidak terjadi hanya kepada
golongan tertentu saja. Artinya, negara tidak bisa lagi mentransferkan
hak monopolinya atas sumberdaya alam kepada segelintir swasta yang
ditunjukkan.

Karena itu, praktik penguasaan sumberdaya alam secara monopolistis,
seperti dibidang kehutanan dan pertambangan, yang didukung dengan
seperangkat peraturan yaitu UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU
Pertambangan No.11/1967 adalah bertentangan dengan makna pasal 33 UUD
1945. Sehingga sebenarnya praktek di bidang kehutanan dan pertambangan
selama ini, yang didasarkan pada kedua Undang-undang itu adalah tidak sah.
Sebaliknya, negara harus membuka peluang rakyat sebesar-besarnya untuk
ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD
1945 harus diterjemahkan dalam situasi ekonomi sekarang sebagai
"pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem pasar bebas yang populis".
Rakyat diberikan hak untuk memiliki dan mengelola sumberdaya alam dengan
cara pengelolaan yang diatur oleh negara dengan cara demokratis.

Dapat disimpulkan bahwa, pasal 33 UUD 1945 bersifat populis karena
menempatkan masyarakat sebagai kelompok utama, tetapi makna itu
dikaburkan dalam kebijakan maupun aturan pelaksanaannya. Berdasarkan
kondisi dan argumen diatas, maka terlihat ada beberapa masalah utama
yang harus dikaji lebih jauh agar masyarakat luas dapat turut menikmati
hasil-hasil sumberdaya alam. Secara rinci, maka usulan kami adalah
sebagai berikut :
1. Bahwa harus disadari sumberdaya alam yang tersedia walaupun memang
rahmat dari Tuhan, bukan berarti tidak ada pemiliknya. Sudah
berabad-abad lamanya masyarakat lokal mengelola dan mempunyai akses
langsung ke sumberdaya alam disekitarnya. Karena itu hak-hak mereka
haruslah diakui baik dalam perundangan nasional, maupun kebijaksanaan
sektoral.
2. Makna pasal 33 UUD 1945 tidaklah menutup akses masyarakat ke
sumberdaya alamnya, sehingga setiap usaha penguasaan sumber-sumber daya
alam haruslah melibatkan masyarakat, dalam pengambilan keputusan sampai
skala menikmati hasil pengolahan sumber-sumber itu. Contoh buruk dalam
pemberian konsesi kehutanan dan pertambangan harus dihapus. Dan
karenanya perlu segera merevisi UU Kehutanan dan UU Pertambangan agar
lebih berwawasan kerakyatan.
3. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan dalam setiap pemanfaatan
sumber-sumberdaya alam, tidak saja bagi penentuan arah tujuan suatu
kegiatan tetapi juga sebagai sarana pengawas kegiatan pengolahan
sumberdaya alam. Peran serta ini sangat penting untuk menjaga
keseimbangan hak negara yang dimandatkan pasal 33 UUD 45 untuk mengatur,
menyelenggarakan, menggunakan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya
alam serta pengaturan hukumnya. Dengan hak rakyat untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengolahan sumberdaya alam itu.
4. Pemerintah yang baik (good governance) sangat penting dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang adil. Intervensi negara harus lebih
difokuskan kebidang pelayanan umum, seperti pemerataan distribusi
kekayaan antara si kaya dan si miskin lewat kebijakan pajak, pelayanan
informasi pasar dan teknologi, pengaturan perundang-undangan anti
monopoli dan anti trust, serta pemberian kredit usaha kecil.

sumber: http://www.pacific.net.id/~dede_s/Membumikan.htm

Baca selengkapnya...

Hutan dan Janji Gombal Penguasa

Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia



SBY kembali menebar janji menyelamatkan hutan Indonesia. Janji ini disampaikan dalam Konferensi Internasional Kehutanan Indonesia yang digelar Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Jakarta (Kompas, 28/9/2011).

Sejak menjabat, SBY antara lain berkomitmen dan berjanji mengurangi emisi karbon Indonesia 26 persen hingga tahun 2020. Untuk mendukung janjinya, SBY kemudian mengumumkan moratorium yang dituangkan dalam Inpres No 10/2011, tetapi banyak memberikan pengecualian pada industri ekstraktif. Kita tentu belum lupa, SBY menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia hukum dan mafia penebangan liar.Semakin banyak berjanji seharusnya semakin keras upaya kita memenuhinya. Namun, pada Presiden SBY janji ternyata tidak lebih dari upaya pencitraan agar tampak peduli pada lingkungan dan hutan.



Tanaman industri
Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir perkembangan perluasan hutan tanaman industri justru sangat pesat. Tahun 2000 luasan hutan tanaman industri adalah 4,44 juta hektar. Tahun 2011 luasannya mencapai 18,54 juta hektar (termasuk kawasan pencadangan). Hutan tanaman industri rata-rata dibangun di atas hutan produksi dengan tegakan kayu alam yang masih bagus.

Konflik ruang dalam kawasan hutan cukup tinggi. Berdasar data Sawit Watch, luasan kawasan sawit saat ini adalah 9,09 juta hektar dengan rencana ekspansi 26,71 juta hektar. Rencana ekspansi mencakup 3,02 juta hektar perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan 3,14 juta hektar dalam kawasan gambut. Di Kalimantan Tengah saja tercatat ratusan perusahaan perkebunan beroperasi tanpa izin dan mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 3,7 juta hektar. Di Kalimantan Timur tercatat 200.000 hektar kawasan hutan dicaplok perkebunan kelapa sawit.

Sawit Watch mencatat, konversi hutan menjadi kawasan nonhutan penyumbang terbesar hilangnya keragaman hayati dan kerusakan hutan secara permanen. Luas kawasan perkebunan kelapa sawit meningkat 1,26 juta hektar, naik dari 7,82 juta hektar tahun 2009 menjadi 9,09 juta hektar tahun 2010. Data Walhi menunjukkan, luasan izin hutan tanaman industri meningkat menjadi 11,53 juta hektar yang akan mengganti hutan alam menjadi hutan monokultur.Permenhut P.62/2011 yang kemudian dibatalkan ataupun Permenhut 614/1999, hakikat dan tujuannya sama, yakni melindungi perbuatan melanggar hukum oleh beberapa kepala daerah dan pengusaha perkebunan besar kelapa sawit. Kementerian Kehutanan bahkan masih mencari celah untuk melegalkan sawit dalam kawasan hutan. Karena itu, sungguh mengherankan kalau Presiden SBY masih berani mengumbar janji yang sudah pasti akan digombalinya sendiri.



Terkait korupsi
Bagaimana dengan angka korupsi dan mafia yang menyeruak masuk sektor kehutanan? Janji SBY untuk memberantas mafia di sektor kehutanan juga tak lebih hanya isapan jempol. Buktinya sampai saat ini SBY tidak berani memerintahkan Polri mencabut surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus pembalakan liar di Riau.

Semua itu diperkuat dengan temuan investigasi yang dilakukan Walhi Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo. Hasil investigasi menunjukkan adanya modus korupsi dalam pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit.Serbuan industri tambang yang masuk di hutan juga tidak kalah menyeramkan. Jangan lupa SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—hampir bersamaan dengan Inpres No 10/2011—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Dengan realitasnya seperti ini, sudah pasti palsu semua janji SBY.

Lalu bagaimana dengan nasib hutan dan lingkungan yang sudah kadung hancur, disertai ancaman bencana ekologis yang terus membuntuti generasi sekarang dan mendatang?Presiden SBY seperti syair lagu saja. ”Kau yang berjanji, kau juga yang mengingkari....”

(sumber: kompas, senin 3 oktober 2011).

Baca selengkapnya...

Saya, 99% Perempuan yang Melawan

11 tahun, kurang lebih saya bergelut dengan dunia gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam pergulatan proses yang panjang, rasanya saya hampir memahami akar persoalan kehancuran lingkungan dan krisis yang dialami oleh rakyat. Dimana segelintir orang dan kelompok menguasai dan secara rakus merampok kekayaan alam sebagian besar rakyat yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam. hampir setiap hari, penanganan kasus bahkan hampir membuat air mata kering karena acap kali kita bisa menyaksikan bagaimana rakyat 99% yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya,
harus berdarah-darah dan meregang nyawa.

kini, setelah 11 tahun saya hadir disini untuk menyatakan bahwa saya bagian dari 99% rakyat yang kini berjuang dan melawan, bukan hanya karena saya tau siapa biang kerok dari kemiskinan dan krisis yang dialami oleh sebagian besar penduduk bumi. lebih dari itu, saya hadir untuk meneriakkan suara perempuan, suara ibu yang gelisah dan takut dengan masa depan anak-anaknya di negeri yang elitnya culas dan korup.

Sejak menjadi ibu, saya berusaha membangkitkan harapan hidup yang optimistis untuk putri saya yang kini berumur 9 bulan, menatap dan menjalani masa depannya. tapi entah mengapa, justru semakin hari, saya semakin takut menatap masa depan anak saya.
saat di jalan-jalan,menemukan anak-anak diperdagangkan dan hidupnya setiap detik terancam dengan eksploitasi apapun oleh orang-orang dewasa, dan negara gagal melindungi hak-hak anak tersebut. setiap hari,anak-anak terancam dengan berbagai racun yang dihidangkan lewat jajanan yang tidak sehat.tapi sialnya, yang disasar oleh bidikan media massa hanya pedagang-pedagang kecil, padahal junk food tumbuh subur dengan iklan yang semakin meracuni anak-anak dan lagi-lagi negara membiarkannya. Sementara kita tahu, bagaimana mahalnya biaya kesehatan. orang tua yang tidak memiliki uang, jangan sekali-kali berani mengobati adanya ke RS, jika tak punya uang untuk membayar DP.

setiap hari, anak-anak dipertontonkan dengan berbagai praktek kekerasan baik yang dilakukan oleh negara, pemilik modal dan bahkan oleh orang-orang didekatnya.kekerasan seperti spiral yang saling menyambung dan sulit untuk diputuskan. Terutama anak-anak yang hidup di wilayah konflik, sungguh saya tak sanggup membayangkan anak-anak seusia Jingga sudah harus ditinggalkan orang tuanya.

Pendidikan yang sejatinya dapat membuat anak-anak cerdas sebagaimana yang tertuang dalam amanah Konstitusi, juga dikeredilkan tujuannya. sistem pendidikan di negeri ini keberhasilannya diukur dengan angka-angka kelulusan UN. sungguh saya tidak tega, anak-anak TK dan kelas 1 SD, sudah harus menjinjing tas yang begitu berat, hanya untuk menyasar nilai kelulusan. haknya untuk bermain, dikerangkeng oleh angka-angka yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang manipulatif dan membodohkan. membuat anak tidak dapat berpikir kritis, dan begitulah 1% penguasa dunia ini menghendaki, agar generasi mendatang hilang kekritisannya.

Saya sangat mengerti, setiap ibu dan orang tua dimanapun ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. tapi sialnya, anak-anak ini hidup dalam dunia yang sudah disabotase oleh 1% pemodal yang rakus dan elit penguasa yang kejahatannya berselubung atas nama rakyat. Sehingga untuk mendapatkan yang terbaik itu, kita harus membarternya dengan nominal uang yang nilainya juga ditentukan oleh 1% orang yang menguasai sektor finansial dan Perbank-kan. Perempuan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan sial-sial berkali lipat, sudah bekerja sedemikian keras, dengan upah yang tidak sebanding dengan peluh keringatnya, konstruksi sosial sering "menghukumnya" dengan berbagai label negatif yang dilekatkan kepada dirinya sebagai perempuan dan ibu. "ibu yang tidak peduli dengan anak dan keluarga", istri yang tidak taat pada suami", "perempuan yang lupa kodratnya" dan rentetan kata-kata lainnya.

bahkan, sudah berjibaku pula 99% perempuan melawan 1% pemodal dan elit yang menghegemoni, dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan, kami masih dihadapkan dengan dunia sosial yang tak adil. perempuan masih distempel sebagai warga negara ke-2, pelengkap dan menjadi sasaran empuk dari ekspansi modal. tubuhnya dihargai murah dengan menjadi buruh dengan harga yang murah dan lebih kecil dari laki-laki dan, bahkan sering kali tidak dihargai. tubuh perempuan disasar pula sebagai "pasar" bagi pemodal, terutama industri kecantikan.

aaaaa,nampaknya tak cukup dengan kata-kata untuk ingin mengatakan bahwa saya mau menjadi bagian dari 99% perempuan yang melawan, saya mau menjadi bagian dari 99% ibu yang berjuang, dan saya mau menjadi bagian dari 99% rakyat yang tak mau tunduk pada kekuatan 1% di dunia yang jelas-jelas telah gagal membawa dunia ini pada kebaikan bagi seluruh semesta.

Baca selengkapnya...

Moratorium, Masih di Langit!

Moratorium kini jadi kata yang sering diperbincangkan: mulai dari jeda tebang hutan, jeda tambang, hingga jeda pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan, moratorium tebang hutan yang dulu seperti sebuah kemustahilan kini jadi keniscayaan.

Setidaknya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Norwegia terkait pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut. Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan instruksi lewat Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Apakah ini angin baik setelah 10 tahun lebih dimimpikan oleh gerakan lingkungan? Sekilas iya, terutama jika melihat Inpres No 10/2011 dari kulit luarnya. SBY berkomitmen menghentikan izin baru hutan dengan jualan penurunan emisi hingga 41 persen.

Mari kita bicara mimpi moratorium hutan yang benar. Sebuah cita-cita untuk membenahi pengelolaan hutan yang karut- marut dan melahirkan berbagai kerentanan dan konflik kehutanan yang tak berkesudahan, yakni dengan melakukan jeda tebang setidaknya dalam kurun 15 tahun. Kurun waktu ini dianggap cukup untuk membenahi kerumitan pengelolaan hutan dan izin pengelolaan hutan yang tumpang tindih, yang menyebabkan rakyat semakin miskin dan bencana lingkungan.

Dalam mimpi gerakan lingkungan, moratorium hutan sekaligus untuk memberikan ruang bagi negara memfasilitasi rakyat dalam membangun ruang-ruang produktifnya. Kita tahu bahwa selama ini berbagai konflik di sektor kehutanan salah satunya disebabkan tidak dibukanya akses dan kontrol rakyat terhadap pengelolaan hutan.

Akan tetapi, waktu dua tahun yang ditetapkan untuk moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan gambut—sebagaimana tertuang dalam Inpres No 10/2011—tentu perlu dikritisi. Apakah dalam waktu dua tahun dapat menyelesaikan berbagai problem kehutanan yang sudah menggurita? Belum lagi ditambah praktik mafia di sektor kehutanan yang begitu kuat memengaruhi kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah?

Inpres No 10/2011 melakukan pembiaran terhadap pemodal karena izin sudah diberikan di kawasan berhutan, tanpa ada penundaan izin, termasuk evaluasi izin. Inpres ini hanya penundaan izin terhadap izin baru. Faktanya, di Kalimantan Timur, misalnya, selain hutan lindung dan kawasan konservasi, seluruh kawasan hutan telah dibebani izin. Ini berarti memang tak akan ada izin baru, tetapi yang ada adalah jual-beli izin.

Pelanggengan kekuasaan

Dengan kondisi kerusakan hutan yang begitu masif, sepanjang 2006-2007 saja deforestasi mencapai 2,07 hektar dan memusnahkan sekitar 5,17 miliar pohon berdiameter beragam, maka penundaan pemberian izin baru selama dua tahun tak lebih hanya wacana untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik.

Jika melihat dari waktu penetapan Inpres No 10/2011, moratorium tampaknya akan jadi momentum dan dasar dari revitalisasi industri untuk mendorong optimalisasi, efisiensi, dan kompetensi industri kehutanan dan perkebunan.

Meskipun ada di luar, para pemodal berkonsolidasi. Mereka seperti kebakaran jenggot dan menuding isu moratorium yang didesak oleh organisasi lingkungan untuk kepentingan asing dan bertujuan menghambat majunya perekonomian nasional. Sebuah klaim yang tidak mendasar karena, kenyataannya, struktur ekonomi-politik neoliberal telah menyebabkan ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi nasional saat ini. Dominasi modal asing telah sangat besar menguasai seluruh sektor ekonomi, khususnya sumber daya alam. Nasionalisme hanya bersifat simbolisme karena unit-unit yang menjalankan ekonomi negara sesungguhnya tidak ada.

Jangan lupa, selain Inpres No 10/2011, SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—yang dikeluarkan hampir bersamaan—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Jika realitasnya seperti ini, omong kosong jika kemudian moratorium akan menjawab krisis lingkungan dan dapat menyelamatkan hutan yang masih tersisa, apalagi memulihkan kondisi kerusakan hutan.

Melihat dari waktu moratorium yang hanya dua tahun dan adanya Perpres No 12/2011, tampaknya ini tidak lebih hanya sebuah cara bertransaksi dengan mendompleng isu lingkungan. Mengingat tahun 2013 akan ada persiapan Pemilu 2014, artinya akan ada ekstraksi besar-besaran pada 2013 atau menjelang 2014.

Sejak SBY mengumumkan moratorium, hingga mengeluarkan instruksinya dalam bentuk Inpres No 10/2011, faktanya moratorium yang dicita-citakan oleh gerakan lingkungan masih berada di langit. Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi rakyat yang harus memilih jalannya sendiri untuk menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi di tengah pengurus negara yang abai. oleh : Khalisah Khalid ,Dewan Nasional Walhi

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/06/20/0238301/moratorium.masih.di.langit

Baca selengkapnya...

Serdadu dan Konflik Sumber Daya Alam

Oleh: Khalisah Khalid

Pengantar
Salah satu penyebab dari konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia adalah ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.

Pada abad ke-19, raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di pulaiu Jawa menjadi hak milik VOC atau raja Mataram. Hal ini antara lain dapat disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.

Paska kemerdekaan, pemerintah berupaya melakukan penataan ulang atas sumber-sumber agrarian dengan mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah suatu produk perundang-undangan yang dibuat untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta untuk menghapuskan segala bentuk sisa-sisa feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.

Sayangnya, sebelum UUPA dilaksanakan, Indonesia mengalami pergolakan politik yang panas dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan dimana militer menjadi bagian dari cerita ini. Ada beberapa pihak yang menilai bahwa peristiwa 30 september tidak bisa dilepaskan dari actor-aktor eksternal salah satunya intervensi asing yang memiliki kepentingan ekonomi. Ini ditandai dengan keluarnya UU Penanaman Modal Asing dua tahun paska peristiwa 30 September 1965.

Meskipun dalam catatan sejarah kolonialisasi di Indonesia kita dapat membaca bahwa penggunaan kekuatan militer telah terjadi untuk membackup penjarahan sumber daya alam, faktanya kini penggunaan militer (isme) tetap digunakan. Tulisan ini ingin melihat sejauhmana peran atau keterlibatan militer (TNI/POLRI) dan watak militeristik yang dilakukan oleh organ sipil dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Tulisan ini juga hendak melihat bagaimana situasi dan kondisi perempuan dalam menghadapi militer(isme) dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup yang selama ini masih minim menjadi perhatian banyak pihak baik institusi negara maupun gerakan masyarakat sipil.

Pengaman Modal
Konflik agraria dan sumber daya alam selalu bermula dari adanya ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.

Hak menguasai negara (HMN) yang terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan berbeda oleh orde baru dengan “semuanya milik negara” hingga penguasaan kolektif masyarakat adatpun dianggap tidak ada. Orde baru membagi-bagi sumber-sumber agraria kepada kelompok-kelompok yang dikehendaki dapat mendukung kekuasannya, utamanya kepada pemilik modal asing. Kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari pasal 33 tersebut, tidak pernah dihitung. Jangankan kesejahteraan, justru rakyat sering kali dihadapkan sebagai “musuh” negara ketika mempertanyakan hak-haknya.

Dalam praktek semasa Orde Baru, kedudukan Negara yang dominan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu serta untuk menikmati hasilnya. Undang-Undang dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, justru menjadi alat legitimasi bagi negara untuk menjual sumber daya alamnya, tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada ketamakan dan kekerasan. Di masa orde baru, kekerasan dan korupsi menjadi pintu masuk dalam setiap investasi di Indonesia.

Karena semua cabang-cabang produksi dianggap milik negara, maka negara menggunakan seluruh perangkat dan kekuatannya untuk mengamankan investasi dan pembangunan, dengan jargon stabilitas ekonomi dan keamanan nasional yakni aparat keamanan yang terdiri dari TNI dan Kepolisian. Aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian digunakan oleh pemerintah dan atau pemilik untuk menggusur, merebut lahan masyarakat pada saat eksplorasi dan eksploitasi akan dimulai.

Di beberapa kasus, aparat keamanan terlibat dalam proses pembebasan lahan masyarakat agar masyarakat mau menjual tanahnya dengan harga yang sangat rendah. Jika tidak mau menjual tanah dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah dan korporasi, tidak segan-segan aparat keamanan melakukan ancaman untuk mengintimidasi warga. seperti yang dialami dalam kasus antara masyarakat dengan PT. Adaro dimana yang melibatkan aparat militer didalam proses ganti rugi lahan warga yang telah ditanami pohon karet. Pola ganti rugi yang melibatkan militer membuat warga tidak berdaya dan akhirnya menyerahkan tanah mereka diganti rugi dengan harga yang sangat rendah. Kepentingan umum, kepentingan pembangunan, kepentingan nasional selalu menjadi alasan pembenar bagi negara untuk “merampas” tanah warga. Kepres No, 55 tahun 1993 atau kini Perpres 65/ tahun 200 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum menjadi senjata sakti untuk memaksa warga melepas tanahnya dengan harga yang murah.
Aparat keamanan juga dipasang untuk menghadapi berbagai tindakan “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat terhadap industry atau investasi di wilayah mereka, sehingga yang justru acap kali berhadapan adalah rakyat dengan aparat keamanan. Rakyat yang kritis atau menolak industry masuk di wilayahnya, akan dikelompokkan sebagai pihak yang melawan kebijakan negara. Aksi-aksi unjuk rasa dihadapi dengan penangkapan, penembakan, kriminalisasi dan intimidasi.

Kondisi inilah yang menyebabkan konflik agraria dan sumber daya alam antara korporasi yang ditopang oleh institusi negara dengan rakyat terus meningkat dari hari ke hari, dan bahkan di beberapa wilayah stabilitas keamanan bagi investasi menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, nelayan dan kelompok rakyat yang selama ini memperjuangkan hak-hak atas sumber kehidupannya.

Bisnis dan Tali Temali Pelanggaran HAM
Selain menempatkan aparat keamanan sebagai “penjaga” modal dan kebijakan negara, ada peran atau keterlibatan lain yang dinilai berkontribusi besar bagi langgengnya praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam. Apalagi kalau bukan bisnis yang berada dibalik berputarnya roda investasi sumber daya alam, baik yang dilakukan secara institusional maupun non institusional.

Di masa orde baru, militer “dikaryakan” sosial, ekonomi dan politik sebagai pilar penjaga kestabilan pembangunan. Militer tidak hanya dikaryakan oleh pemerintah, tetapi juga pemilik modal. Praktek bisnis militer tidak hanya terjadi pada sector pengamanan modal tapi juga ikut aktif ikut serta sebagai pelaksana bisnis. Segala fasilitas, asset militer (tanah milik negara yang diperuntukkan bagi tiap angkatan) dijadikan modal dan infrastruktur pendukung bisnis.

Intensitas militer terlibat dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi. Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan.

Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak tertulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseragam coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk).

Nampaknya, inilah yang melanggengkan praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam cerita pengelolaan agrarian dan sumber daya alam. Dimana bisnis militer saling terkait erat dengan watak dan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan pembangunan (baca: modal) dan stabilitas keamanan negara dimana ladang-ladang investasi dianggap sebagai objek-objek vital nasional yang harus diamankan oleh aparat keamanan bahkan dengan dalih operasi militer. bisnis angkatan dan penggunaan asset militer untuk bisnis baik yang legal maupun illegal.
Setidaknya ada Sampai dengan tahun 2003 misalnya, tercatat nama 16 perusahaan yang termasuk dalam kategori objek vital dan mendapat pengamanan aparat TNI. Ke 16 perusahaan tersebut adalah PT Arun LNG, PT Exxonmobil Oil, PLTA Sigura-gura, PT Inalum, PT Caltex Dumai, Kilang minyak Plaju dan Gerong, PLTU Suralaya, PT Dirgantara Indonesia, Kilang Minyak Cilacap, PLTU Paiton, PLTU Petrokimia Gresik, PT Badak LNG Bontang, PT Vico Muara Badak, Unocal Sangata dan PT UP V Pertamina Balikpapan, PT Nikel Soroako, PT Freeport Tembagapura, dan PT Puspitek Serpong.
TNI membangun 100-150 pos-pos militer disekitar perusahaan yang rata-rata dijaga oleh 25-50 personil. Per-hari, diperkirakan Exxonmobil menghabiskan dana sekitar Rp 33,75 juta sampai dengan Rp. 127,5 juta. Artinya, dalam setahun militer bisa mendapatkan uang jasa sekitar Rp 12,15 milyar sampai dengan Rp 45,9 miliyar. Bayangkan, begitu besarnya bisnis militer di bidang pengamanan korporasi yang berkedok objek vital negara.

Sebuah laporan yang diterbitkan Global Witness menyebutkan TNI sepanjang tahun 2001-2003 telah menerima uang keamanan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., perusahaan pertambangan yang berbasis di New Orleans, AS untuk jasa pengamanan pertambangan mereka di Papua. Belum termasuk pengeluaran bagi pejabat militer seperti kepada Mayor Jenderal Mahidin Simbolon selaku Panglima Kodam VIII Trikora.
Kucuran dana tersebut selain melanggar hukum Indonesia, juga menimbulkan pertanyaan besar atas independensi TNI dan kepolisian dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Apalagi, ketika juga diakui oleh petinggi militer bahwa pasukan TNI digaji langsung oleh korporasi transnasional tersebut.

Tidak segan-segan, cap separatis, pemberontak dan label-label negative lainnya dilekatkan kepada masyarakat yang dianggap mengganggu kepentingan korporasi dan negara, dengan demikian, operasi militer menjadi legal untuk dilakukan seperti yang terjadi di Papua dan Aceh. Ini menjadi praktek nyata, bahwa operasi militer dimanapun, motif utamanya adalah kepentingan ekonomi.

Hal yang sama terjadi di Poso Sulawesi Tengah, konflik yang terjadi disana, diindikasikan kuat tidak lepas dari kepentingan ekspansi modal, Dimana Sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, di mana sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso. Masih banyak lagi modal yang masuk dan mendompleng dengan konflik berdarahnya, dan akhirnya berbagai kasus perampasan tanah terhadap petani beralih isunya menjadi konflik antar etnis dan agama.

Aparat militer juga bermain dengan bisnis pembacking-an kegiatan tambang illegal misalnya sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan yang melibatkan sebuah koperasi militer untuk menyediakan keamanan guna memperlancar kegiatannya dengan para penambang illegal di area konsesi tersebut. Misalnya kegiatan pengamanan para penambang illegal di Pongkor Jawa Barat. TNI diduga menjadi backing para penambang liar.

Bisnis militer di wilayah operasi pertambangan Trans-Nasional khususnya tambang emas, minyak, gas dan nikel yang mendapatkan Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia untuk membangun imperiumnya sendiri dan seperti ada negara didalam negara, seperti mendapatkan keistimewaan lebih melalui private business yang dijalankan oleh militer. Industry tambang Berbeda dengan tambang batubara dan perkebunan yang kebanyakan dijaga oleh aparat kepolisian, yang tidak “serapih” bisnis militer.

Asset “Warisan” Penjajah
Selain terkait dengan bisnis militer, konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan khususnya dengan TNI juga terkait dengan asset warisan penjajah (baik Belanda maupun Jepang) yang dianggap semua tanah yang dulunya dikuasai oleh tentara Belanda dan Jepang secara langsung menjadi milik negara (TNI). Inila yang kemudian banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan TNI, karena kebanyakan tanah yang diklaim milik mereka, dulunya merupakan tanah rakyat yang direbut paksa oleh penjajah.

Kasus yang bisa merepresentasikan modus ini antara lain konflik TNI AL dengan masyarakat Alas Tlogo telah ada sejak tahun 1965. Lahan yang ditempati oleh masyarakat untuk tinggal dan berkebun diklaim sebagai asset TNI AL. demi mengusir masyarakat dari tanahnya, TNI melakukan berbagai upaya intimidasi dan puncaknya pada tahun 2007, terjadi penembakan yang menwaskan 5 orang meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka-luka. Dalam hasil investigasi yang dilakukan oleh KontraS bahwa ditemukan fakta bahwa motif pengosongan lahan bukan hanya sekedar untuk lahan pelatihan tempur semata, tetapi ditemukan adanya penyewaan lahan kepada PT. Rajawali plus pengamanan terhadap penyewa.

Selain kasus Alas Tlogo di Jawa Timur, Hal yang sama terjadi untuk kasus Rumpin antara masyarakat rumpin dengan TNI AU Atang Sandjaya, selain klaim kepemlikan lahan yang diwariskan oleh “penjajah”, ditemukan ada indikasi bisnis tambang pasir diatas lahan tersebut.

Ada juga kasus di Bojong Kemang Kabupaten Bogor, bahwa tanah yang ditempati oleh warga diklaim milik TNI AU, bahwa pada tahun 1940-1945, tanah masyarakat disewa oleh angkatan udara jepang untuk kepentingan menyembunyikan pesawat tempur mereka. Setelah Jepang mengalami kekalahan, TNI kemudian mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka yang merupakan tanah “hasil rampasan perang” atau tanah warisan penjajah.

Meskipun belakangan juga terungkap, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh militer ternyata juga terkait dengan kegandrungan tentara berbisnis, misalnya dengan menyewakan tanah-tanahnya kepada perusahaan.

Militerisme Terus Berlanjut
Dalam perjalanannya, era reformasi mendesak agar militer segera kembali ke barak dan meninggalkan bisnis-bisnisnya. Sayangnya, desakan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan. Militer dan kepolisian sampai saat ini masih menjadi anjing penjaga modal yang sangat baik. Faktanya, sampai saat ini, praktek kekerasan dan pelanggaran HAM masih kental mewarnai konflik sumber daya alam di Indonesia. Sebagian merupakan kasus-kasus lama yang tidak kunjung selesai dan semakin manifes, sebagian lagi merupakan kasus-kasus baru dengan menggunakan pola-pola dan pendekatan yang sama.

Setidaknya sejak jaman kolonial hingga saat ini, pelanggaran hak asasi manusia selalu berdampingan dengan ekspansi modal, dengan menggunakan seluruh kekuatannya termasuk kekuatan bersenjata dengan aktornya yang berubah-ubah. Misalnya, di beberapa kasus, kekerasan justru dilakukan oleh sipil seperti Polisi Kehutanan yang mengamankan konsesi tanah Perhutani, Satpol PP dan Pamswakarsa. Namun jika dilihat, sipil ini menggunakan pendekatan dan pola yang sama yakni militeristik dan tidak jauh dari induknya yakni militer dan kesemuanya dipersenjatai. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh sipil seperti Pamswakarsa yang sering kali dibiayai oleh perusahaan, biasanya justru aparat keamanan melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan tersebut.

Industry ekstraktif baik tambang maupun perkebunan sawit skala besar merupakan industry yang kotor, penuh dengan praktek kekerasan dan sarat dengan pelanggaran HAM baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, social dan budaya, khususnya bagi rakyat yang hidup di lingkar area tambang dan perkebunan besar. Di berbagai wilayah operasi pertambangan dan perkebunan, keterlibatan aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian dalam mengamankan korporasi sangat kental. Konflik yang sering muncul antara korporasi dan masyarakat setempat, selalu menempatkan masyarakat sebagai korban.
Disinilah kita dapat mengurai tali temali antara peran militer yang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan akan digunakan oleh negara dengan mengerahkan semua kekuatannya termasuk militer dan aparat keamanan lainnya atau aparat keamanan justru membiarkan praktek kekerasan dilakukan oleh sipil yang berupa preman-preman bayaran, pamswakarsa atau milisi-milisi ketika berhadapan dengan warga. Inilah kerja kolaboratif yang sangat baik antara pemodal dengan negara (plus aparat keamanannya) untuk melanggengkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik.


Perempuan dan Militer(isme)
Peran perempuan dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupan antara lain terlibat langsung dalam barisan massa aksi seperti ibu-ibu Sugapa memeluk pohon yang akan dirobohkan oleh PT. IIU di Porsea Sumatera Utara, ibu-ibu di Bojong Jawa Barat yang melakukan penghadangan mesin-mesin perusahaan yang akan masuk, dan bersama laki-laki melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah yang diambil oleh perusahaan seperti yang dilakukan oleh ibu Werima yang berhadapan dengan PT. INCO di Sulawesi Selatan.
Ironisnya, peran dan perjuangan perempuan bersama komunitasnya untuk mendapakan hak-hak dasarnya harus berhadapan dengan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Seorang petani kelapa sawit perempuan bernama ibu Yuniar tewas ditembak oleh satuan Brimob ketika memperjuangkan haknya atas ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau baru-baru ini.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai kasus terkait dengan konflik agraria, sumber daya alam dan perjuangan lingkungan hidup, bukanlah cerita baru. Dalam catatan WALHI, berbagai kekerasan yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya, mulai dari kasus PT. Freeport Indonesia dimana mama Yosepha pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, kekerasan yang dialami oleh opung Risma ketika berhadapan dengan aparat kepolisian dalam kasus dengan PT. Inti Indorayon Utama atau PT. Toba Pulp Lestari, ibu Nursiha yang ditangkap oleh aparat Kepolisian ketika berhadapan dengan perusahaan sawit. Selain kekerasan yang dialaminya sendiri, banyak perempuan yang harus kehilangan suami, ayah dan anak laki-lakinya ketika berhadapan dengan aparat kamanan negara.

Sebagian besar kita sempat berpikir bahwa saat melakukan aksi ketika terjadi konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup, perempuan berada di barisan terdepan akan membuat aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan. Ternyata apa yang terjadi tidaklah demikian, tanpa memandang siapa yang dihadapinya, termasuk ibu-ibu dan dihadapan anak-anak, tindak kekerasan dilakukan oleh alat negara seperti dalam kasus Indorayon ketika memblokir jalan atau kasus Rumpin yang berhadapan dengan TNI Angkatan Udara, saat ibu-ibu berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan ibu-ibu. Tanpa ada aba-aba atau peringatan, pasukan TNI AU langsung mendorong ibu-ibu hingga terjatuh, dan berujung pada penembakan terhadap massa aksi. Dalam kasus ini, selain satu orang tertembak di bagian leher, 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu di rusuk sebelah kanan.

Dalam kasus Bojong, saat melakukan sweeping dari rumah ke rumah, beberapa orang ibu dipukul oleh aparat dari Polwil dan Polres Bogor, bahkan ada ibu hamil yang didorong dan ditodongkan senjata dari belakang.

Bahkan di Ibukota, cerita kekerasan seperti banyak terjadi di pelosok-pelosok desa juga secara brutal dilakukan. Dalam kasus penggusuran pasar Barito, ibu-ibu yang melakukan aksi damai dengan membawa bunga, mesti merasakan sepatu Satpol PP. Kurang lebih 15 orang perempuan yang berada di barisan diinjak-injak, dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.

Berbagai bentuk ketidakadilan telah dialami oleh perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, akibat peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan yang disebutkan sebagai kekerasan berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Kekerasan yang dialami akibat praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI), seterusnya melahirkan bentuk kekerasan lain yang disebabkan karena peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan. Beban ganda bagi perempuan yang kehilangan suami, ayah atau anak laki-lakinya terpaksa harus mengambil peran sebagai pencari nafkah keluarga, sementara dia masih harus mengurus peran-peran domestiknya.

Sayangnya, meskipun begitu berat resiko yang dihadapi oleh perempuan dan begitu besar peran yang telah dilakukan oleh perempuan bersama komunitasnya dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupannya. Masih sedikit perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM dalam konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Padahal, perempuan pembela HAM harus menghadapi berbagai ancaman dan bentuk pelanggaran. Mulai dari yang umum dihadapi antara lain pembunuhan, dan resiko kehilangan nyawa, penyiksaan, penganiayaan, pengrusakan property, kriminalisasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, intimidasi, penghancuran sumber-sumber penghidupan, pembunuhan karakter dan stigmatisasi. Selain ancaman dan pelanggaran yang akan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, ancaman dan pelanggaran yang khusus dialami oleh perempuan antara lain perkosaan dan pelecehan seksual dan serangan pada posisi dan peran ibu, istri dan anak perempuan.

Dalam kasus penangkapan yang dialami oleh ibu Nursiha, selain hak-hak dasarnya yang dilanggar, ibu Nursiha juga terpaksa tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu yang menyusui bayinya yang baru lahir dan tiga orang anak lainnya.
Disinilah kita dapat menilai bagaimana peran militer(isme) dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan khususnya hak asasi perempuan.

Penutup
Tidak ada yang berubah dari dulu hingga saat ini, dari jaman kolonial hingga paska reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan agrarian di Indonesia, menggunakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber daya alam dan agraria. Aktornya bisa mengalami perubahan, tapi korbannya tetap sama yakni rakyat yang seolah tak berwajah dan tak bernama. Dan perempuan menjadi korban yang mengalami renteng kekerasan berlanjut dan berlapis-lapis dari seluruh cerita yang bernama penjarahan sumber daya alam dan agraria.

Namun dari kesemuanya, yang diuntungkan dari watak pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan berwatak militeristik ini juga sama yakni segelintir orang baik pemodal, elit politik dan tentu saja alit dari aparat keamanan mulai dari TNI hingga elit di Kepolisian yang kesemuanya saling mengikatkan diri menjadi dan bertali temali dengan kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politiknya.

-----------------------------------------------
Tulisan ini telah disampaikan kepada Komnas Perempuan pada tanggal 26 Jnauari 2011 dalam kerangka penulian Pemetaan keterlibatan militer (ism) dalam konflik SDA

Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Analisa Hukum Kolonial di Tanah Merdeka, Hedar Laudjeng, http://www.huma.or.id/

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.

Gali-Gali Jatam, Volume 3 Nomor 13, 2001

http://bhotghel.multiply.com/journal/item/19/KONFLIK_AGRARIA_DAN_BISNIS_MILITER

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/utama/684570.htm, dikutip dari Pelanggaran HAM; Warisan (Maut) Keterlibatan Militer dalam Bisnis, Mufti Makarim.

ibid
Siaran Pers Bersama, KONTRAS, IMPARSIAL, JATAM, MPI, WALHI, ELSAM, AMAN, ALIANSI PEREMPUAN MENGGUGAT, ICW, YAPPIKA, LSPP, YLBHI, akarta, 19 Maret 2003
http://ariantosangaji.blogspot.com/2010/08/kekerasan-poso-dan-ekspansi-modal.html
M. Islah,

Kronologi kasus Bojong dan Rumpin, WALHI.

Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan

Baca selengkapnya...

ASEAN Gagal Bertanggung Jawab dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Perempuan.

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan


Pada tanggal 7-8 Mei 2011, pemimpin negara-negara ASEAN bertemu ASEAN Summit ke-18 di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 3-5 Mei 2011, lebih dari 1300 delegasi masyarakat sipil dari 10 negara Asia Tenggara terlibat di dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum 2011 di Jakarta. ACSC/APF adalah ruang untuk memperdebatkan dan mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi politik ASEAN yang bertumpu pada pasar, mengabaikan prinsip hak asasi yang berdampak langsung pada hidup dan kehidupan buruh migran perempuan, nelayan, petani perempuan, perempuan adat dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.

Secara spesifik, berbagai elemen gerakan perempuan di Asia Tenggara, termasuk Solidaritas Perempuan dari 10 daerah di Indonesia – terlibat aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan ASEAN. Kritik Solidaritas Perempuan (SP) berbasiskan pada pengalaman-pengalaman perempuan akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat peran gender sebagai perempuan, warga negara, buruh migran perempuan, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan dalam konflik bersenjata dan konflik sumber daya alam, perempuan yang hidup di dalam hukum syariah, serta kelompok perempuan lainnya yang mengalami penindasan akibat identitas politik, seksualitas dan kepercayaan tertentu.


Solidaritas Perempuan menilai negara-negara ASEAN telah gagal dalam memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan Asia Tenggara dan Indonesia, pada khususnya. Kegagalan tersebut tercermin dalam beberapa pandangan Solidaritas Perempuan di bawah ini.


Regionalisasi Politik Ekonomi Pro-Pasar

Negara-negara ASEAN secara terbuka melayani kepentingan politik ekonomi global yang ditunjukkan dalam Pilar Ekonomi, Pilar Sosial dan Budaya, serta Pilar Politik dan Keamanan ASEAN. ASEAN telah gagal melindungi hak-hak perempuan dari berbagai kebijakan yang mendukung eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam dan liberalisasi perdagangan.


ASEAN Economic Community Blueprint (AEC) secara jelas berorientasi pada pasar global dan meminggirkan perempuan adat, perempuan pedesaan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik perdagangan bebas yang mematikan produksi dan konsumsi lokal terus menguatkan peran Asia Tenggara sebagai produsen dan konsumen pasar global, yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas lahan, pangan, pekerjaan, dan lingkungan hidupnya. Perempuan kehilangan lahannya, tidak berdaulat atas pangannya, dan dipaksa bermigrasi dalam upaya mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya. Bahkan, ketika bermigrasi, perempuan masih juga tidak mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya sebagai manusia, warga negara, perempuan dan pekerja, termasuk dalam hal kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.


Konsistensi ASEAN mendorong kebijakan neoliberal secara terbuka terlihat dalam politik perdangangan bebas melalui FTA dengan melupakan prinsip pelibatan masyarakat, dan upaya memenuhi keadilan sosial-ekonomi rakyat, termasuk perempuan. Liberalisasi perdagangan melalui FTA secara nyata melanggar hak-hak perempuan dalam mengelola sumber-sumber produksi pangan mereka, dan bertentangan dengan upaya rakyat dalam merebut kembali hak-haknya dalam mengelola sumber-sumber produksi yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.


Proyek-proyek sumber daya alam, khususnya terkait energi, mineral, migas, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pengelolaan sumber daya air yang dirancang oleh ASEAN justru semakin memiskinkan perempuan dengan hilangnya lahan-lahan penghidupan, hilangnya akses atas air bersih, kerusakan lingkungan, dan akibatnya terhadap kesehatan. Bahkan, berpotensi mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.


Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, ASEAN tidak juga mempunyai posisi politik yang kuat di dalam negosiasi perubahan iklim untuk mendesakkan negara-negara industri bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM. ASEAN justru terjebak di dalam skenario perubahan iklim yang dirancang oleh negara-negara industri dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (WB/ADB) untuk terus menguatkan perekonomian mereka dan menyerahkan tanggung jawab merespon dampak perubahan iklim lebih kepada negara-negara berkembang melalui proyek-proyek iklim. Pendanaan iklim yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari negara-negara industri sebagai pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca tidak dikelola untuk kepentingan negara-negara berkembang. Bahkan, negara berkembang dijadikan arena perdagangan, investasi dan jebakan hutang iklim melalui model Green Economy yang diskenariokan Amerika Serikat dan Uni Eropa.



Lemahnya Akses Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses ASEAN

Masyarakat sipil telah diakui keberadaannya di dalam Piagam ASEAN. Bahkan, jargon pemerintah negara-negara ASEAN mengatakan bahwa kebijakan dan mekanisme ASEAN berpusat pada rakyat. Tapi pada kenyataannya, rakyat dijadikan sasaran pasar untuk kepentingan perdangangan. Yang menyedihkan, tidak ada keterlibatan rakyat yang penuh dan berarti dalam seluruh proses ASEAN.

Tidak ada suatu mekanisme yang jelas untuk pelibatan masyarakat sipil di dalam proses pengambilan keputusan di tingkat ASEAN. Proses konsolidasi masyarakat sipil belum juga menjadi bagian dari proses ASEAN. Negara-negara Anggota ASEAN tidak pernah secara serius menindaklanjuti hasil-hasil dari ACSC/APF sebelumnya. Hingga kini, hak-hak petani, nelayan, dan buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara terus dilanggar dan tidak ada jaminan perlindungan yang dapat memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Perempuan terus menjadi pihak yang termarjinalisasi serta mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masyarkat sipil tidak akan pernah berhenti mempertanyakan prinsip ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat.


Desakan Solidaritas Perempuan
Atas dasar situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak agar:

KTT ASEAN 2011, sebagai proses pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN, menghasilkan mekanisme partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, khususnya perempuan.
ASEAN merevisi ASEAN Economic Community Blueprint menjadi model pembangunan komunitas ekonomi ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat ASEAN.
ASEAN memastikan dan menjamin implementasi dari reforma agraria yang berkeadilan jender, mencakup pengelolaan sumber-sumber produksi pangan serta perdagangan yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan.

4. ASEAN membangun instrumen tentang perubahan iklim yang berperspektif keadilan iklim dan keadilan jender, serta memastikan adanya standar perlindungan hak-hak perempuan dalam pendanaan, kebijakan dan proyek-proyek iklim

5. ASEAN mendesak negara-negara industri untuk memenuhi tanggung jawabnya menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis serta menyediakan dukungan teknologi dan pendanaan bagi negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif, sensitif, dan responsif jender.

6. Negara-negara anggota ASEAN segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta menghapuskan kebijakan pemutusan kontrak dan deportasi atas dasar kehamilan dan penyakit menular, khususnya HIV/AIDS, dan menyediakan jaminan perlindungan sosial termasuk ketentuan untuk pelayanan kesehatan dan asuransi medis, serta mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi buruh migran dan anggota keluarganya.

7. ASEAN segera melahirkan Instrumen ASEAN tentang Promosi dan Perlindungan hak-hak buruh migran pada tahun 2011 sebagai instrumen yang mengikat secara hukum, mencakup perlindungan bagi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya tanpa memperhatikan status hukum mereka, mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, diskriminasi dan segala bentuk stigmatisasi terhadap buruh migran perempuan dan anggota keluarganya, serta harus sentisitif jender di dalam proses dan praktik migrasi, termasuk mengimplementasikan rekomendasi umum No. 26 dari CEDAW tentang pengakuan atas buruh migran perempuan.

8. ASEAN membangun instrumen untuk melindungi keragaman masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berkeyakinan dan keragaman budaya, serta perlindungan hak otonomi tubuh dan seksualitas perempuan.



Jakarta, 5 Mei 2011



Risma Umar

Ketua Badan Eksekutif Nasional

Solidaritas Perempuan




Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan

Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh

Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan

Solidaritas Perempuan Kinasih Jogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Solidaritas Perempuan Kayangan Api Bojonegoro, Jawa Timur

Solidaritas Perempuan Jabodetabek, DKI Jakarta

Solidaritas Perempuan Mataram, Nusa Tenggara Barat

Solidaritas Perempuan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar, Sulawesi Selatan

Solidaritas Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara

Solidaritas Perempuan Palu, Sulawesi Tengah

Baca selengkapnya...